Ramadhan Sebagai Spirit Pembebasan Diri
- account_circle Muhammad Asmar Joma
- calendar_month Sab, 29 Mar 2025
- visibility 258
- comment 0 komentar

Sumber Foto : Istimewa
Saat ini umat Islam telah berada pada puncak perpisahan dengan ramadhan sebagai bulan yang suci, bulan yang dimana semua umat Islam diberikan tarbiyah (pendidikan) oleh Allah Swt. Ramadhan adalah salah satu bulan yang istimewa dari sekian banyak bulan dalam Islam, sehingga begitu banyak keistimewaan yang terdapat dalam ramadhan kita pun diperintahkan oleh Allah Swt untuk berpuasa. Allah Swt berkata dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 183 “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Penegasan kalimat tersebut tidak sebatas kalam illahi yang tidak memiliki makna tetapi jutru memiliki nilai yang besar.
Tamu mulia akan pergi meninglkan jejak air mata di hati setiap mukmin dan pergi setelah mengisi cahaya pada qalbu para pecinta, ia pergi bersama waktu dengan diam-diam menyisahkan rindu bagi para pecinta. Namun, dibalik kepergainnya, terdengar tangisan jiwa-jiwa yang merindukan kehadirannya. Bagi para ahli tasawuf Ramadhan bukan hanya sekedear sebuah bulan puasa atau ritual ibadah semata tetapi musim cinta antara hamba dengan kekasihnya ( Allah Swt), masa di mana rahmat turun seperti hujan, dan jiwa-jiwa dibersihkan dari karat dunia. Kepergiannya meyishkan duka tetapi juga membawah pesan teologi yang dalam.
Lalu apa sebenarnya tarbiyah (Pendidikan) dari Ramadhan yang bisa dijadikan pelajaran bagi setiap umat Islam dalam melaksanakan proses puasa. Pertama: sudah seharusnya kita semua sadar bahwa kehadiran Ramadhan tidak semata-mata hanya dilakukan dengan berpuasa selama satu hari melainkan ada nilai yang terkandung di dalamnya yang harus dijadikan sebagai spirit dan transformasi diri menuju perubahan sosial, dengan begitu kita memiliki orientasi dalam melaksanakan perintah Allah Swt. Allah berfirman dalam Al-Quran, “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” (QS Al-Baqarah: 184).
Pada bagian lain menahan lapar dan haus adalah proses Allah Swt mendidik kita bahwa ternyata, pada prinsipnya semua diantara kita sama mulai dari yang kaya, miskin, yang memiliki jabatan dan tidak memiliki jabatan sosial status itu dihapuskan Allah Swt, semuanya sama menahan rasa lapar dan haus sebagai bukti bahwa tidak ada ketimpangan kalas, itu artinya Islam telah tuntas memberikan pendidikan kesetaraan melalui puasa. Pada kondisi itu semua secara tidak langsung melepaskan predikat sosial untuk tiba pada satu nilai revolusiner yang disebut dengan solidaritas (Ashobiyyah). Pertanyaan singkat pun akan muncul. Apakah kita sudah benar-benar merdeka setelah kepergian Ramadhan, atau justru kembali terbelenggu pada penyembahan materi(kossumerisme), penyembahan ego ( kesombongan, ke-Aku-an yang lebih), penyembahan system kelas(ketidakpedulian atas nasib orang lain)?
Bulan suci Ramadhan merupakan sebuah momentum spritualitas yang diberikan Allah Swt pada umat baginda besar Muhammad Saw, bukan juga sekedar ibadah rutin yang menuntut umat Islam untuk berpuas. Tentu lebih dari itu. Bulan suci Ramadhan bukan sekedar ritualitas keagamaan yang bersifat mekanis melainkan sebuah revolusi spritual yang menuntut transformasi diri secara personal juga secara sosial. Benar bahwa Ramadhan adalah bulan yang memiliki kemualiaan dan keaguanan yang besar yang diberikan Allah swt kepada umat Islam.
Olehnya, saya melihat sedikit berbeda tentang Ramadhan dalam konteks teologi pembebasan. Mungkin saja wacana semacam ini akan melahirkan sebuah prespektif baru dari berbagai kalangan untuk membanta ataupun menolak, bagi saya hal semacam itu harusnya dilakukan. Pertama saya ingin katakan bahwa dapat kita pahami Ramadhan tidak hanya menuntut disiplin fisik untuk menahan rasa haus dana lapar sebagai refelksi diri pada keyakinan terhadap perintah agama, namun ada sebuah pembebasan diri dari bentuk penindasan baik bersumber dari struktur internal dan eksternal diri.
Ramadhan menjadi cerminan yang memantulkan dua relalitas: keagungan spiritual dan keterpurukan manusia dalam kubangan materialisme. Kehadiranya sebagai tamu revolusiner yang secara langsung mengugat kepasifan kita atas kejahatan sosial yang terjadi pada umat Islam. Berhala social yang mengikis kemurnia batin umat Islam sebagai kekuataan pergerakan untuk bebas dari belengu sistemik, Ramadhan hadir bukan saja sebagai anti-tesa atas system kepitalis yang menjebak keyakinan umat Islam pada ruang matrealisme dan konsumerisme tetapi justu membahwa tranformasi individu pada kesedaran profetik.
Jika dilihat dengan leskap teologi pembebasan, puasa hadir sebagai aksi perlawanan total atas system yang penindasan kekuasaan terhadap rakyat kecil, sistim produksi konsumsi makan, bicara yang berlebihan( tidak ada manfaat) hal ini menjadi perlawanan secara terang-terangan terhadap system kapitalisme yang mengubah manusia menjadi mesin produksi-pemusnah. Harusnya puasa menjadi manifesto pembebasan individu yang terjebak dalam kesalahan dari pendekatan taqarrub ilallah (pendekatan diri kepada Allah ) ke pendekatan pada kaum tertinas. Hasan Hanafi dalam buku (Dari Aqidah Ke Rovolusi) secara sederhana mengatakan bahwa “ibadah tanpa pembalaan kepada kaum mustad’afin adalah pengkhinatan terhadap misi kenabian”.
Kepergian Ramdhan bukan hanya menjadi air mata yang dibaluti kerinduan tetapi menyalahkan api revolusi, sebab tangisan sejati atas kepergain Ramdhan harus menjadi pembakar jiwa untuk menagakan kembali nilai tauhid sebagai kerangka pergerakan sosial dari personal menuju perubahan keloktif. Ramadhan harus menjadi energi melawan tirani kapital, tirani taklid,tirani ego yang didesai system kekuasaan yang zalim.
Puasa juga harus menjadi strategi revoluisiner untuk melahirkan kesadaran kelas yang tertindas. Puasa juga sebagai laboratorium eksistensial tempat umat Islam dilatih untuk mengalami kenosis (pengosongan diri) bukan saja dari makanan tetapi dari ilusi superioritas sosial, ekonomi, dan moral yang dibangun oleh system kapitalistik.
Ali Syariati dalam Islam dan Sosialisme, memberikan sebuah pelajaran penting bahwa kita harus belajar menjadi orang miskin atau merasakan sebuh kondisi tak berkepunyaan. Syariati membongkar hegomoni spiritual yang di control oleh rezim agama yang bekerja sama dengan kekuasaan. Olehnya, puasa adalah bentuk disiden spiritual untuk memprotes system masyarakat yang mengkotak-kotakan manusia berdasarkan system kepemelikan materi. Jadi menahan lapar seorang muslim dipaksa untuk keluar dari zona nyaman borjuasi relegius untuk menjadikan ibadah sebagai symbol perlawanan.
Zakat adalah penghancuran piramida ekonomi dengan cara memaksa si kaya merasakan getirnya kemiskinan melalui redistribusi kekayaan. Sementara haji adalah simbol pemersatu ummat yang melampaui batas nasionalisme dan sektarianisme.Sholat. Mislanya bukan sekedar gerakan tetapi sebagai pengingat manusia akan kesetraan mutlak di hadapan Tuhan. Kaya-miskin bersujut dilantai yang sama.
Wallahu a’lam bisshawab. Salah Mohon Maaf.
- Penulis: Muhammad Asmar Joma
- Editor: Muhammad Asmar Joma
- Sumber: Mahasiswa Magister Aqidah Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Saat ini belum ada komentar