Tambang Bukan Segalanya: Aktivis PMII Yogyakarta Menanggapi Pemikiran Visioner Wagub Maluku Utara
- calendar_month Jum, 3 Okt 2025
- visibility 155
- comment 0 komentar

Penulis merupakan Pendiri Himpunan Mahasiswa Indonesia Timur Universitas Alma Ata Yogykarta dan berproses sebagai kader PMII D.I. Yogyakarta | Sumber foto : Istimewa
Baru-baru ini publik diramaikan dengan kabar yang cukup mencengangkan: pertumbuhan ekonomi Maluku Utara berhasil melesat hingga 32,09% (yoy) pada kuartal II 2025, menurut catatan Databoks yang bersumber dari Badan Pusat Statisik (BPS). Angka ini menempatkan Maluku Utara sebagai salah satu daerah dengan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia.
Namun, di balik euforia tersebut, ada satu pernyataan yang justru menggelitik sekaligus menyejukkan. Dalam seminar “Road to Go Public” di Ternate, Kamis (2/10/2025), Wakil Gubernur Maluku Utara, KH. Sarbin Sehe, menegaskan bahwa:
“Kita semua tahu, tambang suatu saat akan habis. Karena itu, kita harus memikirkan sumber pertumbuhan lain yang berkelanjutan.”
Pernyataan ini, dikutip dari Tribun Ternate, bukanlah sekadar kritik terhadap pola pembangunan yang ada. Ia adalah sebuah visi jauh ke depan, lahir dari kepedulian terhadap rakyat kecil, terutama nelayan dan petani—dua kelompok yang seringkali terpinggirkan dalam riuhnya industri tambang.
Tambang: Kaya Sesaat, Rusak Berkepanjangan
Sarbin Sehe mengingatkan bahwa tambang hanyalah sumber ekonomi sementara. Cepat atau lambat, cadangan akan habis, meninggalkan kerusakan lingkungan yang tak mudah dipulihkan. Inilah mengapa beliau mendorong lahirnya kekuatan ekonomi baru yang lebih berkelanjutan.
Kelautan, perikanan, dan pertanian disebut sebagai sektor yang harus diberdayakan. Bagi beliau, nelayan dan petani bukan sekadar profesi, melainkan tulang punggung ekonomi daerah yang wajib diperhatikan dari sisi kesejahteraan, fasilitas, hingga akses pasar.
Pandangan ini sejalan dengan nilai dasar pergerakan (NDP) yang dipegang teguh kader-kader PMII: Hablumminallah, Hablumminannas, dan Hablum minal Alam. Ada kesadaran spiritual, sosial, sekaligus ekologis dalam gagasan tersebut—sebuah keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.
Belajar dari Nauru
Kita bisa bercermin pada kisah Nauru, sebuah negara kecil di Pasifik yang dulu kaya raya karena fosfat. Di masa kejayaannya, rakyat Nauru hidup dalam kemewahan. Namun ketika tambang fosfat habis, negara itu terjerembab dalam kemiskinan, krisis kesehatan, dan ketergantungan pada bantuan luar negeri.
Jangan sampai Maluku Utara mengulangi jejak yang sama. Kaya akan tambang, tapi miskin ketika sumber daya itu habis.
Jalan Berkeadilan
Sebagai mahasiswa yang ditempa dalam gerakan PMII, saya sepakat dengan pandangan KH. Sarbin Sehe. Maluku Utara harus menyiapkan pilar ekonomi alternatif sejak dini. Jalan-jalan yang dilalui truk tambang harus diperbaiki untuk kepentingan masyarakat, laut yang tercemar akibat limbah tambang harus dipulihkan demi nelayan, dan lahan-lahan pertanian mesti diberi perhatian serius agar petani tetap sejahtera.
Pemikiran KH. Sarbin Sehe terasa relevan dan menyentuh: ia bukan hanya bicara soal pertumbuhan ekonomi, tetapi juga soal keadilan, keberlanjutan, dan keberpihakan pada rakyat kecil.
Jika tambang adalah warisan hari ini, maka sektor kelautan, perikanan, dan pertanian adalah investasi masa depan. Dan hanya dengan keberanian untuk menatap jauh ke depanlah, Maluku Utara bisa terhindar dari jebakan “kaya sesaat, miskin selamanya”.
- Penulis: Muzsta Oscar
- Editor: Redaktur Balengko Creative Media
Saat ini belum ada komentar