Immanuel “Noel” Ebenezer: Luka, Empati, dan Gerak di Jalanan Kekuasaan Luka 1998: Barak Kuda dan Sumpah Seorang Anak Manusia
- calendar_month Kam, 31 Jul 2025
- visibility 77
- comment 0 komentar

Immanuel Ebenezer Gerungan (atau dikenal juga sebagai Noel; lahir 22 Juli 1975) adalah seorang politikus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan aktivis Indonesia kelahiran Riau. | Sumber foto : Istimewa
Asap gas air mata, jerit mahasiswa, suara tembakan peringatan, dan mobil barak kuda polisi yang berderak di jalanan Jakarta pada Mei 1998 adalah potongan sejarah yang masih hidup di dada Immanuel “Noel” Ebenezer. Mahasiswa 20 tahun itu diseret dari jalan protokol, pelipisnya dihantam popor, tulang punggungnya ditekuk oleh lengan aparat, dan tubuhnya digelindingkan ke dalam truk besi yang bau karat dan keringat.
Di dalam gelap itulah lahir sumpah yang kelak akan membentuk langkah-langkahnya,“Jika kuasa suatu hari menyentuh tanganku, jangan biarkan ia menjadi tangan yang memukul.” Sejak itu, luka Noel bukan hanya bekas, tapi kompas. “Luka adalah tempat cahaya masuk.” Noel menjadikan derita sebagai lentera, bukan bara dendam.
Getir Pasca Reformasi: Ojol, Akta Nikah, dan Sedekah Rahasia
Reformasi membawa ruang bersuara, tetapi tidak selalu membawa ruang bernapas. Antara 1997–2000, lebih dari 4,5 juta buruh kehilangan pekerjaan (BPS). Noel selama menjadi aktivis mahasiswa ’98 nyaris putus kuliah dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, tapi lulus dari Universitas Satya Negara (2004). Kesibukan diluar kampus mendampingi korban PHK, kaum miskin kota korban ketidkadilan. Namun idealisme tak selalu bisa menutup kebutuhan dapur.
Ia pun menjadi pengemudi Grab, bahkan sampai akta nikahnya dijadikan jaminan untuk mempertahankan akun aplikatornya. Dari jok motornya, Noel menyaksikan wajah getir para pekerja gig, jam kerja panjang, algoritma yang buta rasa, dan ketiadaan perlindungan hukum.
Meski dalam kondisi apapun ada sisi humanis dari Noel. Suatu malam, seorang bapak yang tak dikenalnya menelepon, suaranya gemetar meminta bantuan untuk membeli beras. Noel tidak menanyakan nama, alamat, atau niat. Ia langsung menelepon kasir Alfamart terdekat dan membayar kebutuhan pokok bapak itu. “Perut lapar harus diisi; soal siapa dia, biarlah jadi urusan Tuhan,” ujarnya. Bagi Noel, sedekah bukanlah panggung, melainkan napas sunyi.
Maaf untuk Lawan, Tegas untuk Keadilan
Kepada orang yang dulu menghina dan menderanya dengan lapang dada di selalu membuka pintu maaf. Kepada polisi yang memukulnya pada 1998, Noel memberikan penyataan pada pidato sambutan sertifikasi untuk polisi di Mako Brimob, Kelapa Dua, Jakarta, pada 22 Juli 2025, ia berkata: “Polisi hakikatnya adalah pagar demokrasi, bukan palu kekuasaan.” Namun kelembutan itu tidak berarti lemah.
Tahun 2022, ketika Munarman, eks Sekretaris Umum FPI diadili atas kasus terorisme, Noel hadir sebagai saksi meringankan. Tindakannya menuai kritik dan berujung pada pencopotan dari posisi Komisaris Utama PT. Mega Eltra (BUMN). Ia tetap berdiri dengan satu prinsip, “Keadilan hukum tak mengenal kawan dan lawan. Hak bicara di pengadilan harus dijaga, meski itu berarti saya kehilangan jabatan.” Noel percaya, maaf bisa menyembuhkan luka, tetapi ketidakadilan harus dilawan, bahkan jika itu menuntut pengorbanan.
- Penulis: Redaksi Balengko Space
- Editor: Redaktur Balengko Creative Media
Saat ini belum ada komentar