Nelayan dan Petani di Tengah Gempuran Industri: Menakar Keadilan Sosial di Maluku Utara
- account_circle Muhammad Asmar Joma
- calendar_month Sab, 26 Apr 2025
- visibility 460
- comment 0 komentar

Penulis adalah Ketua Bidang Kemaritiman dan Agraria HMI BADKO Malut | Sumber Foto Ilustrasi Pixabay
Maluku Utara negeri di pingran bibir pasifik diberkahi laut dan tanah yang subur, namun ironis terbesar hari ini di depan mata bukanlah kemiskinan, kelaparan, melainkan penghiyanatan terhadap sumber daya penghidupan kita. Atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi, kebijakan publik telah mengadaikan hak-hak nelayan dan petani kepada korporasi tambang yang rakus dan acuh terhadap keadilan ekologi. Ketika indeks ekonomi tumbuh justru ruang hidup masyarakat terkikis. Pada saat yang sama rakyat kian terbeban dalam lumpur tambang dan limbah nikel. Ini bukan sekedar krisis distibusi sumber daya tapi pengikaran terhadap prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam amanah konstitusi.
Pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara memang mencolok. Menurut Badan Pusat Statistik (2024), provinsi ini mencatat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 20,49% pada tahun 2023 tertinggi secara nasional. Namun, di balik capaian angka tersebut, terpendam luka sosial-ekologis yang dialami oleh nelayan dan petani lokal. Sejak tahun 2019 kawasan industri tambang dan smelter di Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan berkembang masif. Di Pulau Gebe, ekspansi pertambangan telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan memaksa petani lokal kehilangan lahan garapannya. Dalam rilisan Mongabay Indonesia (22 Februari 2025) menyebutkan bahwa wilayah pertanian yang sebelumnya menjadi sumber penghidupan warga kini tercemar akibat limbah aktivitas pertambangan. Pada saat yang sama nelayan juga mengalami situasi dan menyaksikan perairan laut tercemar akibat aktivitas industi nikel.
Itu artinya bahwa tidak hanya petani, nelayan pun turut menanggung dampak serius dari industrialisasi maritim ini. Menurut rilisan BaktiNews (2024), nelayan di Teluk Buli melaporkan bahwa sejak beroperasinya perusahaan tambang di kawasan pesisir, hasil tangkapan menurun drastis. Beberapa nelayan harus melaut lebih jauh dari biasanya karena ikan menjauh akibat pencemaran perairan.
Kondisi ini mencerminkan krisis keadilan ekologis. Ekspansi industri yang tidak berbasis partisipasi masyarakat telah mengabaikan prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan. Tanah dan laut bukan sekadar komoditas tetapi ruang hidup dan spiritualitas masyarakat Maluku Utara. Dalam perspektif keadilan distributif, seperti dijelaskan John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), ketimpangan hanya dapat dibenarkan jika menguntungkan kelompok yang paling rentan. Namun, di Maluku Utara kelompok rentan seperti petani dan nelayan justru menjadi korban utama. Sebagai generasi yang menyaksikan lengusng kondis masyarakat Maluku Utara saat ini, tentu sangat prihatin, maka pemerintah daerah harus lebih serius menagani konflik ekologi yang yang terjadi dan sering diabaikan oleh korporasi.
Secara struktural, konflik agraria di Halmahera Selatan dan Halmahera Timur dan kabupaten yang lain menunjukkan bahwa perizinan pertambangan sering tumpang tindih dengan tanah ulayat atau lahan produktif masyarakat. Dalam rilisan Kompas (31 Mei 2024), di sektor maritim tekanan terhadap nelayan meningkat seiring pertumbuhan kawasan industri pesisir. Pembangunan pelabuhan logistik dan jalur laut industri menyebabkan konflik ruang antara kapal nelayan dan transportasi tambang. Hal ini memperburuk keamanan ekonomi masyarakat pesisir.
Dari sudut pandang teoritis, David Harvey dalam The New Imperialism (2003) menjelaskan konsep “accumulation by dispossession” yakni akumulasi modal melalui perampasan ruang hidup. Pola ini tercermin dalam industrialisasi ekstraktif di Maluku Utara, di mana penguasaan sumber daya oleh korporasi justru merampas hak-hak komunitas lokal. Dampak struktural ini juga mengakibatkan pemiskinan ekologis (ecological impoverishment). Ketika laut tercemar dan tanah tak lagi subur, masyarakat kehilangan kemampuan bertahan secara mandiri. Akibatnya, ketergantungan pada upah industri meningkat, tapi tanpa jaminan keadilan dan perlindungan.
Dalam konteks teologis, Islam menempatkan manusia sebagai khalifah bumi yang wajib menjaga alam. Al-Qur’an menegaskan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah diciptakan dengan baik” (QS. Al-A’raf: 56). Ayat ini menegaskan bahwa eksploitasi alam yang mengabaikan keberlangsungan hidup manusia adalah bentuk pelanggaran moral.
Melihat hal tersebut, pemerintah daerah harus segera melakukan reformulasi kebijakan pembangunan berbasis partisipasi komunitas. Perlu audit sosial dan lingkungan terhadap seluruh izin tambang dan investasi yang beroperasi di wilayah pesisir dan pertanian. Langkah-langkah konkret seperti penguatan hak tanah masyarakat adat, pelibatan aktif masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), serta perlindungan ruang tangkap tradisional harus menjadi prioritas.
Selain itu, institusi pendidikan dan keagamaan lokal perlu turut serta dalam membangun kesadaran ekologis dan spiritualitas agraria-maritim. Kesadaran ini penting untuk melawan narasi pembangunan yang menyingkirkan nilai-nilai kearifan lokal. Secara sadar saya ingin katakan ada apa dengan bangsa ini, sehingga ketimpang terjadi dimana-mana padahal kita adalah tuan di negeri sendiri namun penjajahan terus saja ada. Aneh bin Ajaib.
Keadilan sosial tidak hanya soal distribusi materi tetapi juga soal siapa yang punya hak bicara dalam pembangunan. Ketika petani dan nelayan dibungkam pembangunan kehilangan arah etiknya. Maluku Utara memiliki sejarah panjang sebagai masyarakat agraris dan bahari. Mewarisi laut dan tanah berarti mewarisi tanggung jawab untuk menjaganya. Maka, suara petani dan nelayan bukanlah penghambat kemajuan, melainkan penunjuk arah bagi pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Pertanyaan mendesak saya hari ini bukan lagi “berapa besar pertumbuhan ekonomi? “tetapi” siapa yang dikorbankan demi pertumbuan itu?”
Saat ini belum ada komentar