IDUL FITRI dan ZOON POLITICON
- account_circle Dr. Fahrul Abd. Muid, S.Th.I, MA
- calendar_month Sel, 1 Apr 2025
- visibility 63
- comment 0 komentar

Sumber : Istimewa
Setiap kali kita merayakan hari raya ‘Idul Fitri, kita selalu dituntut untuk merenungkan dan menghayati pesan-pesan moral yang terkandung dalam Idul Fitri itu. Pesan-pesan itu sesungguhnya dapat ditelusuri lewat kata ‘Idul Fitri itu sendiri. ‘Idul Fitri adalah kata majemuk (tarkib al-idhafi) yang terdiri dari kata ‘id dan al-fitr. Kata ‘id semula berasal dari kata ‘aud, yang berarti kembali. Hari raya disebut ‘id karena ia kembali dalam setiap tahun menemui kita. Sementara kata ‘al-fitr’ atau ‘al-fitra’h adalah sifat kejadian bagi setiap makhluk. Maka apabila disebutkan fitrah manusia, hal itu berarti sifat-sifat dasar manusia ketika ia pertama kali diciptakan, sebelum ia tercemar oleh sifat-sifat lain setelah ia hidup di dunia ini. Maka ‘Idul Fitri dapat berarti kembalinya manusia kepada sifat-sifat aslinya ketika ia diciptakan pertama kali oleh Allah Swt.
Kini, apakah sifat-sifat asli kita sebagai manusia ketika saya, anda, dan kita semua diciptakan pertama kali itu, masih bertahan dalam diri kita sampai hari ini? Marilah kita memperhatikan sifat-sifat tersebut dalam diri kita sebelum hal itu dicemari oleh sifat-sifat lain setelah kita sebagai manusia itu sudah bergumul dengan kehidupan dunia. Dengan demikian, sejatinya kita sebagai manusia dapat mendeteksi dirinya sejak dini, sejauh mana ia mampu mengembalikan dirinya kepada karakteristik dasar itu sehingga ia kembali menjadi manusia yang memiliki karakter manusia seperti pertama kali ia diciptakan oleh Allah Swt. Maka ada beberapa sifat dasar manusia, yang pertama adalah manusia diciptakan semata-mata sebagai pengabdi Allah Swt, dalam Surah al-Dzariyat ayat 56, Allah Swt berifrman, “dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanyalah agar mereka mengabdi kepada-Ku”. Mengabdi kepada Allah Swt adalah taat kepada-Nya dan tidak taat kepada selain-Nya. Taat kepada Allah Swt ini merupakan perwujudan daripada iman manusia kepada-Nya, karena pada dasarnya makhluk yang bernama manusia itu sejak semula telah beriman kepada Allah Swt. Dan Allah Swt pernah menanyakan kepada ruh-ruh manusia, “bukankah Aku ini Tuhanmu semua? Mereka menjawab, “betul, Engkau Tuhan kami, dan kami menjadi saksi”. (lihat QS. al-‘araf, 172). Pada hakikatnya dan sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini yang tidak mengakui bahwa pencipta dunia ini adalah Allah Swt. Bahkan orang-orang musyrik sekali pun apabila ditanyakan kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan dunia ini semuanya, mereka pasti akan menjawab bahwa yang mencipatakan alam dan seluruhnya itu adalah Allah Swt. (lihat QS. Luqman, 25). Ini artinya bahwa watak dasar manusia itu adalah beriman dan ia diciptakan sebagai makhluk yang beribadah kepada Allah Swt. Namun kenapa ada manusia-manusia yang tidak loyal dan berkhianat kepada Allah Swt, padahal sejak awal ia telah memiliki potensi atau benih sebagai makhluk yang beriman?
Karakter manusia ketika masih sebagai ruh memang demikian. Namun ketika ruh itu dipertemukan dengan jasad kasar kemudian menghirup udara segar di dunia ini, masalahnya menjadi lain. Hal itu karena ruh yang menjadi tetap dalam watak keasliannya (fitrahnya) sementara jasad mulai tergoda dengan tuntutan-tuntutan kenikmatan duniawi yang bersifat sementara dan sesaat. Di sinilah mulai terjadi tarik-menarik antara kepentingan rohani dengan kepentingan jasmani, atau antara kepentingan ukhrawi dengan kepentingan duniawi. Pergumulan dua kutub kepentingan (interest) ini akan terus berlanjut sampai manusia yang bersangkutan meninggalkan dunia ini karena sudah masuk ke dalam kubur.
Manusia memang telah diberi ‘hak kebebasan’ oleh Allah Swt untuk menentukan pilihan mana yang ia kehendaki. Ia dapat memilih kepentingan rohani, dan ia juga diberi kekuatan untuk memilih kepentingan jasmani. Dalam kaitan ini Allah Swt berfirman, “dan Kami telah menunjukkan (memberi kekuatan) kepada manusia akan dua jalan”. (lihat QS. al-Balad, 10). Dua jalan ini adalah jalan kebaikan (rohani) dan jalan kejahatan (jasmani). Apabila manusia mampu mengalahkan kepentingan jasmaninya, maka karakter rohaninya akan mendominasi perilaku hidup kesehariannya, sehingga ia akan tampil sebagai manusia dengan segala watak kemanusiaannya. Tetapi manakala ia tidak mampu mematahkan kepentingan-kepentingan jasmaninya, maka sirnalah sudah segala watak dan sifat kemanusiaannya dalam dirinya, dan kini ia lebih didominasi oleh watak-watak binatang-yang hanya memiliki watak-watak jasmani-daripada sebagai manusia. Maka manusia yang seperti ini sebenarnya sudah menjadi binatang dalam dirinya, bahkan lebih jahat daripada binatang itu sendiri. Meskipun ia berpenampilan necis-neces, tetapi sesungguhnya ia lebih jahat daripada seekor ‘serigala’ dan seekor ‘laba-laba’ yang siap menelan-menerkam sesamanya. Inilah yang disebut dengan gelar ‘manusia serigala’ dan ‘manusia laba-laba’.
Untuk menjaga agar manusia tetap berada pada karakter kemanusiaannya (al-insaniyyah) yang dibentuk oleh kata anasun, anisun dan anisah, yang artinya, harmonis, intim, kangen, saling menyanyagi, dan kasih-sayang, maka diperlukan upaya yang terus-menerus untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan itu. Menjadi manusia yang baik dan ini watak manusia adalah sangat mudah, namun menjadi manusia yang terus menerus baik adalah sulit untuk dipertahankan. Karena tidak ada kebaikan (al-hasanah) bagi kebaikan (al-hasanah) yang tidak terus-menerus, sementara tidak ada kejelekan (al-sysyarr) bagi kejelekan (al-sysyarr) yang terus menerus dilakukan. Kejahatan (al-sayyi’ah) yang bersifat sementara, kemudian disusul dengan kebajikan (al-hasanah) yang terus-menerus akan lebih baik daripada kebajikan yang bersifat sesaat yang kemudian disusul dengan kejahatan yang terus-menerus. Maka, mantan seorang penjahat-kajahatang lebih baik daripada mantan seorang ustadz-kiyai-ulama. Dan upaya untuk menjaga manusia yang manusiawi dan terus-menerus kearah itu dalam bahasa agama disebut dengan ‘istiqamah’ atau ‘konsisten’ yang sulit untuk dipertahankan oleh manusia dalam cara keberagamaannya.
Dan, Maha Besar Allah Swt yang telah menurunkan bulan ramadhan kepada kita dengan segala amalan-amalannya, baik yang bersifat wajib dikerjakan maupun bersifat sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh kita. Karena bulan ramadhan adalah sarana untuk menjaga dan merawat secara terus-menerus agar manusia tetap menjadi manusia, dan agar manusia tetap berada pada watak-watak aslinya sebagai manusia ‘pengabdi Allah’ bukan sebaliknya manusia sebagai ‘pengabdi’ setan. Karenanya, keberhasilan manusia dalam menjalankan ibadah ramadhan akan banyak ditentukan oleh sejauh mana ia mampu melestarikan nilai-nilai yang terkandung dalam bulan ramadhan itu pada bulan-bulan lain pasca ramadhan ini. Karena ramadhan bukanlah untuk ramadhan, melainkan ramadhan untuk bulan-bulan yang bukan ramadhan. Manusia yang berhasil dalam menjalankan ibadah ramadhan akan melestarikan amalan-amalan itu pasca bulan ramadhan, sementara manusia yang tidak berhasil dalam beribadah pada bulan ramadhan ia akan kembali menjadi manusia yang kehilangan watak-watak dasar (fitrah) kemanusiaannya. Maka tepat sekali apabila keberhasilan itu kemudian dirayakan dengan bentuk ‘idul fitri yang merupakan hari raya keberhasilan manusia dalam menjadikan dirinya kembali menjadi manusia yang manusiawi.
Sifat yang lain lagi bagi manusia ketika awal-mula ia diciptakan adalah ia bersifat lemah (dha’if). Allah Swt berfirman, “dan manusia itu diciptakan dalam sifat yang lemah” (lihat QS al-nisa’:28). Konteks ayat ini adalah bahwa manusia yang tidak mampu menikahi wanita (harim) merdeka, ia diizinkan untuk menikahi wanita sahaya (budak), karena ia makhluk yang lemah, tidak dapat hidup seorang diri. Dan, begitulah betapa tingginya ilmu pengetahuan seseorang, namun mustahil ia hidup sendirian. Seorang failasuf Aristoteles juga mengatakan bahwa manusia adalah ‘zoon politicon’ bahwa manusia merupakan mahkluk sosial, makhluk yang selalu berhubungan dengan manusia lainnya untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, sebuah hal yang membedakan manusia dengan hewan. Karena sifat kelemahan manusia inilah sejak awal agama Islam menyuguhkan amalan-amalan yang dapat menumbuhkan sikap-sikap kebersamaan. Disyari’atkannya zakat, infaq, sedekah, shalat berjama’ah, ifthar (memberikan buka puasa), dan lain-lain adalah antara lain dalam rangka menumbuhkan rasa dan sikap kebersamaan dalam hidup di dunia ini. Sikap kebersamaan ini pada gilirannya akan menghilangkan sifat ‘keserigalaan’ dan sifat ‘kelabalabaan’ (kebinatangan) manusia yang selalu siap menerkam-memakan sesamanya. Tetapi justru akan menumbuhkan sifat-sifat kemitraan-selalu berkolaborasi, di mana setiap orang akan memandang yang lain tanpa membedakan status sosialnya, tanpa membedakan sukunya apa, tanpa membedakan agamanya apa, sebagai mitra kehidupan dan saling membutuhkan antara sesama kita dalam merawat kemanusiaan ini untuk menata masa depan bersama yang lebih maju dan sejahtera di daerah yang kita cintai ini.
Untuk mengantisipasi keterasingan manusia dalam gemuruhnya era industrialisasi dan bisingnya teknologi, amalan-amalan yang dapat menumbuhkembangkan sikap-sikap kebersamaan tadi perlu digalakkan dan dilestarikan, bukan saja sekadar pengamalannya saja tetapi juga falsafah-falsafah (hikmah-hikmah) yang terkandung didalamnya. Bahkan bila perlu tradisi-tradisi yang dapat menumbuhkan sikap kebersamaan kita seyogyanya juga dilestarikan. Dengan demikian manusia akan menemukan jatidirinya lagi, bahwa ia hadir di dunia ini bukan sebagai objek kepentingan orang lain, melainkan sebagai subjek atau pelaku yang tidak dapat dipisahkan dari orang lain. Di sisi lain, kelemahan manusia itu tidak hanya terdapat ketika ia mengalami penderitaan, tetapi justru dalam keadaan senang juga manusia tidak dapat melakukannya seorang diri. Manusia tidak akan merasa bahagia apabila ia hidup berkecukupan, sementara di depan rumahnya ia melihat kerumunan orang-orang yang menderita karena kelaparan-kemiskinan dan kekurangan gizi. Manusia juga tidak akan merasa bahagia apabila kelak ia masuk surga sendirian, sementara anak, istri atau suami, dan tetangganya menderita sengsara dalam neraka. Karenanya, kelemahan manusia ini pada sisi lain juga akan menumbuhkan sikap mengajak orang lain untuk sama-sama menikmati kebahagiaan. Dari sinilah kemudian manusia ‘getol’ mengajak orang lain untuk melakukan hal-hal yang akan menyebabkan mereka meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat dan meninggalkan hal-hal yang akan menyebabkan kesengsaraan mereka di dunia dan akhirat.
Inilah sebenarnya hakikat ‘amar ma’ruf nahi mungkar ‘yang sebenarnya merupakan perwujudan dari rasa kasih sayang terhadap sesama manusia. Karenanya, apabila Nabi Muhammad Saw giat melakukan ‘amar ma’ruf nahi mungkar’ maka pada dasarnya karena beliau tidak akan merasa senang apabila beliau masuk surga sendirian, sementara umatnya sengsara di dalam neraka. Dan oleh sebab itu, menjalankan ‘amar ma’ruf nahi mungkar’ sebenarnya adalah merupakan perwujudan dari sifat dan watak dasar (fitrah) manusia. Maka manusia yang tidak mau menegakkan ‘amar ma’ruf nahi mungkar’ sesungguhnya ia telah menyalahi fitrahnya sendiri.
Dengan Idul Fitri manusia diharapkan mampu memahami dan menghayati jatidirinya sebagai manusia, mampu mengembangkan dan menjaga sifat-sifat kemanusiaannya secara terus-menerus. Sehingga, lebih jauh ia mampu ‘mereformasi’ dirinya kembali agar tetap menjadi manusia yang benar-benar manusia secara terus-menerus, bukan sehari menjadi manusia kemudian kembali menjadi ‘serigala’, atau sebulan menjadi manusia di bulan ramadhan kemudian selepas bulan Ramadhan ia kembali menjadi binatang buas dengan berpenampilan necis-neces. Sebab manusia yang kelak masuk surga adalah manusia yang terus-menerus menjadi manusia.
Oleh karenanya, maka Idul Fitri yang kita rayakan saat ini juga diharapkan mampu memainkan perannya sebagai manusia di mana orang-orang lain dapat tertawa bahagia bersamanya, bukan sebagai manusia yang tertawa di atas tangis-isak dan penderitaan orang lain. Dan apabila hal ini dapat terjadi, maka manusia yang demikian merupakan manusia yang tau diri dan mudah-mudahan saya, anda dan kita semua dapat ‘audun’ kembali menjadi manusia yang selalu memanusiakan manusia dalam kehidupan ini. Sehingga Idul Fitri akan menjadi momentum yang menjadikan kita sebagai manusia yang berkualitas baik di hadapan Allah Swt maupun di hadapan sesama manusia. Namun apabila hal itu tidak terjadi, maka Idul Fitri ini hanya akan menjadi upacara ‘rutin’ yang datang setiap tahun tanpa memberikan dampak positif apa-apa kepada saya, anda dan kita semua sebagai penikmat Idul Fitri. Semoga bermanfaat tulisan ini. Aamiin!
- Penulis: Dr. Fahrul Abd. Muid, S.Th.I, MA
- Editor: Fahrul Abd. Muid
- Sumber: Penulis adalah Dosen IAIN Ternate dan Peneliti Media Gerbong Nusantara
Saat ini belum ada komentar