Dari Ambulans ke Tangan Aparat: Tenaga Medis Jadi Sasaran Kekerasan selama aksi demontrasi
- calendar_month Rab, 3 Sep 2025
- visibility 189
- comment 0 komentar

Penulis merupakan seorang aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan pengurus pusat Himpunan Perawat Nahdlatul Ulama (HIPNU). Sumber foto: Istimewa
Indonesia kembali dilanda gejolak. Gelombang aksi massa yang bergulir sejak 25 Agustus 2025 baik di ruang publik maupun media sosial, berakar pada keresahan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Persoalan seperti minimnya lapangan kerja, rendahnya tingkat upah, wacana kenaikan pajak, serta rencana peningkatan tunjangan anggota DPR yang dinilai tidak proporsional, telah memicu gelombang protes yang meluas. Namun, situasi ini tidak hanya berhenti pada unjuk rasa, melainkan berujung pada tragedi kemanusiaan yang menyayat hati.
Kemarahan publik semakin tidak terkendali terjadi pada Kamis malam, 28 Agustus 2025, ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (21), tewas setelah dilindas kendaraan aparat yang diduga sedang mengantarkan makanan untuk para pengunjuk rasa di Jakarta. Kematiannya tidak lagi dilihat sebagai sekadar insiden, melainkan telah berubah menjadi martir sebagai simbol ketidakadilan yang menyulut amarah dan kepedihan kolektif.

Yang semakin memprihatinkan, eskalasi kekerasan justru terus berlanjut. Aparat juga melakukan tindakan represif terhadap tenaga medis yang sedang menjalankan tugas kemanusiaan. Sebuah video yang viral dari Solo menunjukkan petugas medis ditarik paksa dari ambulans dan dipukuli. Tindakan ini jelas melanggar norma universal: Konvensi Jenewa bahkan menjamin perlindungan tenaga medis dalam situasi perang sekalipun. Sangat ironis, bahwa dalam unjuk rasa yang sejatinya bukan konflik bersenjata, prinsip-prinsip dasar kemanusiaan justru diabaikan.
Peristiwa ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga bertolak belakang dengan filosofi Kepolisian Negara Republik Indonesia, “Rastra Sewakottama”, yang berarti “Abdi Utama bagi Nusa dan Bangsa”. Lambang perisai pada logo yang dikenakan setiap anggota polisi semestinya mencerminkan sebagai pelindung rakyat, bukan kekerasan dan penindasan. Sayangnya, realitas di lapangan masih sering memperlihatkan wajah aparat yang represif. Tenaga kesehatan yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban.
Oleh karena itu, reformasi mendalam di tubuh kepolisian bukan lagi sekadar wacana, melainkan sebuah keharusan. Proses rekrutmen calon anggota tidak boleh hanya mengutamakan kemampuan fisik, tetapi juga harus memperkuat pemahaman hukum, kecerdasan emosional, serta memiliki kemampuan Problem solving yang baik. Polisi harus hadir sebagai penegak hukum yang menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai kemanusiaan, bukan sebagai alat kekuasaan yang menebar ketakutan.
Kepada Presiden Prabowo Subianto, dengan latar belakang militernya yang memahami pentingnya perlindungan terhadap tenaga medis dalam situasi konflik, publik berharap beliau tidak tinggal diam. Momentum ini harus menjadi titik balik untuk pembenahan mendasar di tubuh kepolisian, dengan tujuan memulihkan kepercayaan publik dan mengembalikan marwah institusi sebagai pengayom serta pelindung rakyat.
- Penulis: Muh. Rizki
- Editor: Redaktur Balengko Creative Media
Saat ini belum ada komentar