Kiri Islam, Oksidentalisme, dan Kritik Hasan Hanafi
- account_circle Muhammad Asmar Joma
- calendar_month Rab, 2 Apr 2025
- visibility 287
- comment 0 komentar

Illustration and Painting Sumber : mmload.com
Secara fundamental ajaran Islam sejak dari Nabi Adam hinggah Nabi Muhammad SAW dapat kita pahami sebagai sebuah paradigma”Kiri” yang berorientasi kepada keadilan social. Konteks “Kiri” yaag di maksudkan tentu merujuk kepada prinsip teologi yang kritis terhadap sturuktus social diskriminatif dan berkomitmen untuk membongkar sistim penindasan sebagai problem structural dan personal. Teologi Islam melalui perspektif ini tidah hanya bersifat spiritual tetapi juga praksis yang menjadi gerakan emansipasi menantang hierarki kekuasaan yang timpang. Hasan Hanafi filsuf asal Mesir dengan gagasan al-Yasar al-Islamia (Kiri Islam) memberikan sebuah konsep ini sebagai respon terhadap polarisasi kelas dalam masyarakat. Di satu sisi terdapat kelas elit (kanan) yang mendominasi alat produksi dan kekuasaan politik, pada saat yang sama dapat kelas mayoritas (kiri) yang terekspolitasi secara ekonomi maupun social.
Hasan Hanafi merupakan tokoh pemiki Muslim kontemporer yang lahir di Kairo-Mesir pada 13 Februari 1935. Pendidikan dasarnya diselesaikan pada tahun 1948 dimana ketika proses menempuh pendidikan tersebut Hasan Hanafi telah mampu menghafal al-Qur’an. Hasan Hanafi melanjutkan studi selanjutnya di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha Kairo dan selesai pada 1952. Dalam proses pendidikannya selama di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, berbagai kajian keislaman yang diselenggarakan oleh kelompok Ikhwanul Muslimin aktif diikuti sehingga hal-hal tersebut membentuk kesadaran intelektualnya terkait dengan Islam dan berbagai ideologi pergerakan yang mendasarinya. Hanafi memperoleh gelar sarjana mudanya dari Universitas Kairo, Jurusan Filsafat Fakultas Adab pada tahun 1956. Selanjutnya ia melanjutkan ke Universitas Sorbone Perancis dengan konsentrasi kajian pemikiran Barat modern dan pra-modern tepatnya pada tahun 1966. Pendidikannya di Perancis diselesaikan pada dua jenjang pendidikan dalam hal ini adalah magister dan doktor (Bahrudin, 2008). Selama di Perancis, Hanafi mempelajari berbagai disiplin ilmu termasuk yang berkaitan erat dengan metode berfikir, mulai dari pemikiran fenomenologi Husserl (1859-1938) yang mengakui kebenaran empiris, kebenaran teoritis (akal) dan kebenaran nilai. Kemudian ia juga mendalami pemikiran pembaruan dan sejarah filsafat Jean Guitton (1901- 1999), sampai analisis kesadaran Paul Ricouer (1913-2005), pemikiran Louis Masiggnon (1883-1962) dalam bidang logika pembaruan. Berbagai metode berpikir tersebut kemudian membentuk potensi intelektualnya dalam memahami berbaga fenomena sosial yang ada pada zamannya termasuk relasi antara Islam dan Barat (Musramin K. 2021).
Hasan Hanafi secara terbuka memperkenalkan konsep oksidentalisme sebagai antitesa dari orientalisme Barat. Jika orientalisme adalah cara Barat memandang Timur sebagai bangsa yang inferior yang bertujuan membalik narasi tersebut sebagai kritikan atas hegomoni Barat secara intelektual dan kultur. Sejalan dengan itu Kiri Islam oleh Haan Hanafi berupaya memberikan sebuah perhatian besar terhadap tardisi masyarakat Islam yang dibelengu oleh dominasi yang bersifat internal (oligarki local) atau secara sederhana disebut dengan kalangan agamawan yang terjebak dalam doktrin agama yang menghilangkan nilai revolusioner untuk melawan penindasan maupun yang bersifat eksternal (imperialisme Barat).
Kiri Islam tidak hanya menjadi sebuah teori social semata malainkan juga kerangka etis yang mendorong trasformasi structural melalui sitesis antara nilai Islam dan prinsip pembebasan, Hasan Hanafi dalam banyak karya di antaranya Dirasat Islamiyyah, ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilmu keislaman klasik, seperti ushul fikih, ilmu-ilmu ushuluddin dan filsafat. Juga karya Min al-Aqidah ila Al-Tsaurah, (dari Akidah Menuju Revolusi) yang terdiri dari 5 jilid, ditulis selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian rinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan, sebagaimana yang termuat dalam karyanya yang terdahulu. Religion, Ideologi and Development, yang terbit pada tahun 1993 dan masih banyak karya lainnya. Hasan menawarkan jalan untuk merespon tantangan kontemporer. Seperti kesenjagan ekonomi, diskriminasi sistemik, dan alienasi spiritual di era modern . pemikirannya mengajak umat manusia untuk tidak hanya berhenti pada refleksi teoritis, tetapi bergerak aktif menciptakan keadilan yang inklusif yang berkelanjutan.
Membaca Kembali Hegomoni Barat
Lewat catatan singkat ini saya tidak berupaya untuk menjelaskan secara etimologi apa itu oksidentalisme malainkan mencari rumus baru dalam membaca kembali wajah Islam di tengah benturan antara peradaban. Jika kembali merefleksikan karya Samuel P. Huntington (Benturan Antara Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia) sebagai tangapan terhadap tesis Francis Fukuyama dalam karyanay “The End of History and the Last Man”. Lewat buku ini Huntington mengidentifikasi benturan utama dari dari peradaban adalah identitas budaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama dunia, benturan peradaban bukan lagi konflik ideologi atau ekonomi, akan menjadi sumber utama konflik masa depan. Meskipun tesis Samuel memicu kontroversi dan polemic di berbagai belahan dunia dengan banyak tangapan pihak yang menantang Huntington namun bagi saya buku ini menjadi sebuah jalan masuk untuk membaca posisi Islam dalam melawan hegomoni Barat dalam pertarungan ekonomi dan politik dunia.
Kelahiran oksidentaslisme Hasan Hanafi bukan merupakan suatu konsep yang tidak memiliki dasar pikir historis. Hadirnya oksidentalisme sebagai konsep perlawanan dalam menyikapi relasi Islam dengan Barat dalam pergolakan sosi-politik dan kita sebut sebagai gerakan anti Barat. Oksidentalisme yang di tawarkan oleh Hasan tidak sekedar mengajukan tiga agenda. Pertama: rekonstruksi sikap kritis terhadap tradisi local (Islam). Kedua: pembongkaran mitos superioritas Barat. Ketiga: respon terhadap tansformasi atas realitas kontemporer tetapi juga menjadi epistemologi perlawanan yang mengitegrasikan antara ralasi kuasa dan pengetahuan antara Timur dan Barat.
Terlihat bahwa epistemology sebagai fondasi filsafat yang mengkaji prasyarat dan metodologi pengetahuan yang dihadapkan pada pertanyaan secara radikal. Bagaimana hegomoni Barat berhasil menciptakan sturktur kesadaran yang menempatkan Islam sebagai bangsa yang lemah? Peradaban Barat memosisikan diri sebagai subjek pengetahuan yang universal sementara Islam dijadikan sebagai objek yang direduksi nilainya juga di ukur melalaui standar kebenaran Barat, pada bagian inilah perlu ada pembacaan secara kritis oleh generasi Islam saat ini, bukan saja menempatkan posisi di tengah revolusi teknologi. Juga membaca konsekuensi umat Islam yang terjebak dalam paradoks epistemic. Kita menjadi aktor di panggung sejarah, tetapi dengan naskah yang ditulis oleh Barat sebagai sutradara.
- Penulis: Muhammad Asmar Joma
- Editor: Muhammad Asmar Joma
- Sumber: Mahasiswa Magister Aqidah Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Saat ini belum ada komentar