Makan Bergizi Gratis (MBG): Niat Baik yang Harus Dijaga dengan Kualitas dan Kepercayaan Publik
- calendar_month Ming, 28 Sep 2025
- visibility 153
- comment 0 komentar

Sumber foto : Istimewa
Jika benar bahwa tujuan dari MBG (Makan Bergizi Gratis) adalah sebuah niat baik yang telah dirancang untuk mencapai lebih dari sekadar ketahanan pangan. Program ini berfungsi sebagai katalis untuk pembangunan ekonomi lokal, yakni melalui dukungan kepada UMKM dan penciptaan pekerjaan dibidang pertanian. Dampak akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan melalui penurunan kemiskinan dan meningkatkan gizi masyarakat tetutama pada anak -anak, yang secara signifikan akan meningkatkan kualitas SDM bangsa di masa depan melalui invetasi gizi. Program yang dirancang dengan semangat kemanusiaan dan keberpihakan pada rakyat kecil ini seharusnya menjadi teladan bagaimana negara hadir di tengah rakyatnya. Namun, niat baik tanpa kualitas pelaksanaan justru bisa berbalik arah: melahirkan masalah baru, mengecewakan masyarakat, bahkan mencoreng kepercayaan pada program itu sendiri.
Kita perlu jujur baru-baru ini ada beberapa peristiwa MBG yang menuai sorotan. Ada laporan mengenai keluhan rasa, mutu gizi yang tidak sesuai, bahkan kasus keracunan makanan yang semestinya tidak boleh terjadi pada sebuah program sebesar ini. Masalah seperti itu bukan sekadar soal teknis di dapur, melainkan soal keselamatan publik dan citra sebuah kebijakan. Jika ada satu kasus keracunan, dampaknya bisa menjalar pada ribuan orang yang kehilangan kepercayaan. Padahal, kepercayaan adalah modal utama dalam kebijakan sosial.
Disinilah pentingnya memperbaiki kualitas dan kuantitas pelayanan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Dapur bukan sekadar ruang memasak, melainkan jantung dari program ini. SOP (Standard Operating Procedure) dapur harus menjadi pedoman yang ketat, tidak boleh diabaikan, apalagi hanya dijadikan formalitas di atas kertas. Mulai dari cara memilih bahan makanan, penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi harus terjamin sesuai standar keamanan pangan. Pengawasan juga tidak boleh bersifat insidental, melainkan berkelanjutan dengan evaluasi yang jelas.
Kualitas tidak hanya diukur dari rasa atau tampilan makanan, tetapi juga dari keamanan pangan dan kandungan gizinya. Apakah bahan segar yang digunakan sudah sesuai standar? Apakah pengolahan dilakukan dengan memperhatikan suhu, higienitas alat, dan sanitasi pekerja? Apakah distribusi sampai ke tangan penerima dengan kualitas tetap terjaga? Pertanyaan-pertanyaan ini harus menjadi indikator yang selalu diperiksa setiap hari.
- Penulis: Fahmil Usman, S.Gz.,M.Gz.,AIFO
- Editor: Redaktur Balengko Creative Media
Saat ini belum ada komentar