Menimbang Ulang Wacana Otonomi Daerah Baru: Antara Harapan, Realita, dan Tanggung Jawab Intelektual Muda
- calendar_month Ming, 27 Jul 2025
- visibility 1.361
- comment 0 komentar

Jafar Noh | Pengamat Informasi. Sumber foto : Istimewa
Antara Euforia dan Hiperealitas
Kita hidup di era yang digambarkan oleh filsuf Prancis Jean Baudrillard sebagai zaman “hiperealitas” — ketika batas antara realitas dan representasinya menjadi kabur. Dalam konteks ini, kadang suara publik terdengar lebih nyaring dari pada substansi. Ketika Ibu Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, menyampaikan aspirasi terkait DOB Sofifi di hadapan Presiden Prabowo Subianto, wacana langsung bergulir kencang, seolah keputusan sudah final dan tak perlu ditinjau ulang.
Namun sebagai kaum intelektual, sudah seharusnya kita bertanya: apakah pernyataan tersebut bersifat administratif, informatif, atau justru politis? Kita tidak bisa menelan mentah-mentah setiap narasi tanpa membedah data dan mengkaji konsekuensinya secara mendalam.
Aksi massa yang terjadi beberapa waktu lalu di depan kantor DPRD dan Kantor Gubernur Maluku Utara perlu kita refleksikan. Apakah benar semangat pergerakan itu lahir dari kajian dan kesadaran kolektif, atau hanya sekadar mengikuti arus demi konten media sosial?
Masa Aksi atau Masa Simulasi?
Kehadiran dua kelompok aksi — Presidium Rakyat Tidore dan Majelis Rakyat Sofifi (MARKAS) — seakan mempertontonkan dua wajah berbeda dari satu tubuh yang sama. Pemerintah bersuara lewat rakyat, rakyat bertindak layaknya pemerintah. Yang muncul bukanlah pertarungan antara rakyat dan penguasa, melainkan sesama anak daerah yang saling bertolak belakang.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 menjamin hak setiap warga untuk menyampaikan pendapat. Namun dalam praktiknya, penyampaian aspirasi seharusnya tetap berbasis data, bukan sekadar orasi emosional yang mengulang sejarah tanpa menawarkan solusi konkret.
Sejarah memang penting, tetapi masa depan jauh lebih mendesak untuk ditata. Aksi tanpa arah dan tanpa visi tidak akan menciptakan perubahan, hanya akan meninggalkan keramaian yang cepat dilupakan.
Dari Story ke History
Gerakan perubahan seharusnya tidak berhenti di layar gawai. Intelektual muda bukan hanya pembuat status yang viral, tetapi penyusun strategi perubahan. Perjalanan kaum muda dari masa ke masa, mulai dari 1966 hingga Reformasi 1998, dibangun di atas kesadaran, pengorbanan, dan pemahaman mendalam akan isu yang diperjuangkan.
Semangat itu hari ini seolah meredup. Kita lebih sibuk membangun story ketimbang menciptakan history. Kita lebih ingin dikenang sebagai viral, ketimbang dikenang sebagai visioner.
- Penulis: Jafar Noh | Pengamat Informasi.
- Editor: Tim Redaksi Balengko Creative Media
Saat ini belum ada komentar