PAUD Berbasis Cinta atau Pabrik Robot? Kritik atas Pendidikan Formal dengan Belajar dari Jepang dan Budaya Sasak di Lombok Timur
- calendar_month Ming, 28 Sep 2025
- visibility 119
- comment 0 komentar

Foto penulis ; LILIK FEBY RAHMAWATI INSTANSI : UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA S2 PAUD | Sumber foto : Istimewa
Jika ditarik ke konteks lokal, budaya Sasak di Lombok Timur sesungguhnya kaya akan praktik pendidikan berbasis kasih sayang dan kebersamaan. Tradisi pengasuhan kolektif dalam keluarga besar, gotong royong, serta internalisasi nilai melalui ritual dan cerita rakyat adalah bentuk pendidikan yang mengedepankan afeksi. Anak tidak hanya dididik untuk pintar, tetapi juga untuk berakar pada tradisi, sopan santun, dan spiritualitas. Nilai-nilai lokal ini dapat menjadi dasar kuat dalam merumuskan PAUD berbasis cinta, yang tidak terjebak dalam sekadar meniru model luar, melainkan menggali kearifan lokal sebagai fondasi.
Namun, tantangan terbesar muncul ketika sistem pendidikan formal mengabaikan dimensi afektif ini. Kurikulum yang padat, obsesi orang tua terhadap prestasi akademik dini, serta kebijakan birokratis yang seragam justru membuat PAUD kehilangan jiwanya. Alih-alih menciptakan suasana penuh cinta, banyak lembaga PAUD berubah menjadi “pabrik robot” yang mengejar target akademik. Hal ini bukan hanya merugikan perkembangan anak secara emosional, tetapi juga dapat memutus mata rantai warisan budaya lokal yang sesungguhnya kaya nilai.
Dalam perspektif kritis, PAUD berbasis cinta bukanlah sekadar wacana romantis, melainkan kebutuhan mendesak bagi masa depan bangsa. Generasi yang dibesarkan dengan kasih sayang, penghargaan terhadap keragaman, dan keterikatan budaya akan lebih siap menghadapi dinamika global. Sebaliknya, generasi yang dibesarkan seperti robot hanya akan piawai mengikuti instruksi tanpa daya kreatif dan empati. Inilah bahaya laten dari praktik pendidikan formal yang terlalu teknokratis dan seragam.
Oleh karena itu, penting untuk menegaskan bahwa membangun PAUD berbasis cinta memerlukan kolaborasi antara negara, masyarakat, dan keluarga. Negara perlu menyusun kurikulum yang fleksibel dan memberi ruang pada praktik-praktik pengasuhan lokal. Masyarakat dapat menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Sasak yang menekankan kasih sayang, kebersamaan, dan spiritualitas. Sementara itu, keluarga sebagai pusat pertama pendidikan anak harus menjadi teladan dalam membangun iklim penuh cinta di rumah.
Dengan demikian, pertaruhan terbesar PAUD di Lombok Timur dan Indonesia pada umumnya terletak pada pilihan: apakah kita ingin mendidik anak menjadi manusia yang berakar pada cinta dan kebudayaan, atau sekadar mencetak robot yang patuh pada sistem tanpa jiwa? Belajar dari Jepang dan budaya Sasak, sudah saatnya kita menggeser paradigma pendidikan dari sekadar instruksi akademik menuju pendidikan berbasis cinta yang membentuk manusia utuh. Hanya dengan cara itu, PAUD dapat menjadi titik awal lahirnya generasi yang cerdas, berempati, dan berakar pada nilai kemanusiaan.
- Penulis: LILIK FEBY RAHMAWATI
- Editor: Redaktur Balengko Creative Media
Saat ini belum ada komentar