Akses Keadilan bagi Kaum Mustadh’afin: Antara Dakwah, Perlawanan, dan Kritik terhadap Hegemoni Hukum
- calendar_month Sel, 22 Jul 2025
- visibility 484
- comment 0 komentar

Penulis Opini, Zulfikran A. Bailussy, SH, penulis merupakan ketua LBH Ansor Kota Ternate | Sumber Foto : Istimewa
Di titik inilah, pemikiran Shariati bertaut dengan warisan etika sosial Nahdlatul Ulama. Dalam berbagai forum bahtsul masail dan muktamar NU, para kiai menegaskan pentingnya “keberpihakan pada yang lemah (al-fuqara wa al-masakin)” sebagai cermin dari maqashid syari’ah (tujuan hukum Islam). KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misalnya, tidak hanya memimpin NU sebagai organisasi, tetapi menjadikannya sebagai rumah perlawanan terhadap tirani, baik yang datang dari negara maupun pasar.
Namun keberpihakan tidak cukup hanya dengan niat baik. Ia harus hadir dalam strategi, dalam struktur. Dalam hal ini, Antonio Gramsci—pemikir kiri dari Italia—menawarkan konsep penting: hegemoni. Ia menjelaskan bagaimana kelas penguasa mempertahankan dominasi bukan hanya dengan represi, tetapi lewat normalisasi nilai dan hukum, melalui apa yang kita anggap “wajar”. Maka, hukum yang tampak netral sering kali hanyalah alat yang melanggengkan ketimpangan jika tidak dikritisi secara radikal.
Di Maluku Utara, hegemoni hukum tampak dalam cara aparat memperlakukan aktivis lingkungan yang dikriminalisasi, wartawan kritis yang diintimidasi, atau masyarakat adat yang kehilangan hak ulayatnya karena tidak memiliki “sertifikat”. Hukum digunakan bukan untuk keadilan, tetapi untuk meredam perlawanan.
- Penulis: Zulfikran A. Bailussy, SH
- Editor: Tim Redaksi Balengko Creative Media
- Sumber: Penulis merupakan Ketua LBH GP Ansor Kota Ternate.
Saat ini belum ada komentar