Menimbang Ulang Wacana Otonomi Daerah Baru: Antara Harapan, Realita, dan Tanggung Jawab Intelektual Muda
- calendar_month Ming, 27 Jul 2025
- visibility 985
- comment 0 komentar

Jafar Noh | Pengamat Informasi. Sumber foto : Istimewa
Dalam membicarakan otonomi daerah, penting bagi kita memahami terlebih dahulu posisi dan fungsi otonomi dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi bukan sekadar jargon yang berpindah dari satu ruang diskusi ke ruang lainnya. Ia adalah proses kompleks yang menuntut kehati-hatian, legalitas, dan kesiapan dalam berbagai aspek.
Pelaksanaan otonomi daerah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan atau melempar wacana dari satu tongkrongan ke tongkrongan lain. Ini bukan hanya soal membentuk kekuasaan baru, tetapi juga soal kesiapan struktur pemerintahan, ekonomi, sumber daya manusia, dan tentu saja keberpihakan kepada rakyat.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 33 hingga 43, pembentukan daerah otonom wajib memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Maka pertanyaannya, sudahkah Sofifi memenuhi seluruh syarat itu? Ataukah wacana pembentukan DOB ini masih sebatas gema emosional yang belum ditopang kajian mendalam dan data yang valid?
Pernyataan Sekretaris Provinsi Maluku Utara, Bapak Samsudin A. Kadir, perlu menjadi rujukan penting. Ia menegaskan bahwa kewenangan mengusulkan DOB berasal dari pemerintah kabupaten/kota induk. Dalam konteks Sofifi, artinya rekomendasi Walikota dan DPRD Kota Tidore Kepulauan adalah kunci. Tanpa itu, Pemerintah Provinsi tidak memiliki dasar hukum untuk mengusulkan pemekaran ke pusat. Secara administratif, ini adalah penegasan yang tak bisa diabaikan.
- Penulis: Jafar Noh | Pengamat Informasi.
- Editor: Tim Redaksi Balengko Creative Media
Saat ini belum ada komentar